Manusia memiliki dua sifat: pembangun dan perusak. Terkadang, atau malah seringkali, sifat perusaknya lebih kuat. Maka muncullah Tomcat.
Tomcat (paederus fuscipes) seakan datang untuk mengingatkan manusia, bahwa membangun dengan merusak ekosistem itu akan merugikan manusia sendiri. Serangga sejenis kumbang itu, saya kira, tidak bermaksud menyerang manusia. Tidak sebagaimana dikatakan judul-judul berita di teve dan koran. Mereka pun mungkin terheran-heran, kenapa teman-temannya jadi banyak begini. Mereka mungkin juga kebingungan, kok tempat mainnya jadi aneh begini. Bahkan mereka mungkin ketakutan; biasanya mereka berhadapan dengan predator sesama hewan kecil, kini harus berhadapan dengan manusia yang jauh lebih sakti.
Populasi Tomcat biasanya sedikit. Saya pun sepertinya kerap menemukan serangga serupa di semak-semak kalau ke sawah atau kebun di kampung. Gigitannya memang perih dan panas. Jangankan Tomcat, semut merah atau semut hitam yang besar pun bikin gatal dan panas. Tapi selama ini keberadaan mereka tidak pernah jadi masalah. Sepanjang rantai makanannya seimbang, tak ada hewan yang perlu dicemaskan oleh manusia. Tomcat memakan telur hama wereng, jadi dia sahabat manusia. Tomcat dimakan lagi oleh tokek liar di alam. Jadi tokek liar jangan diburu. Gitu aja. []